Selamat Datang di Catatan Kecil Ega, Semoga Bermanfaat Bagi Pembaca ^_^

SOEGIJA



"Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka jika gagal untuk mendidik diri sendiri?"

Tokoh SOEGIJA

Konon film ini dibuat untuk mengenang 40 tahun wafatnya Almarhum Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, yang meninggal di Steyl, Venlo, Belanda, 22 Juli 1963. Uskup pribumi Indonesia pertama ini dikenal dengan silent diplomacy-nya. Tanpa harus menggunakan kekerasan dan senjata, iman dan semangat kemanusiaannya dapat menjadi panutan yang tak lekang waktu. Menurutnya, menggalang cinta kasih dan keadilan belum cukup, tetapi juga perlu bertempur dengan lembut untuk kemerdekaan. Berkat kegigihannya dalam perjuangan itu, Soegija yang dikenal dengan ucapannya “100 % Katolik dan 100 % Indonesia” ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal Semarang dan diberi gelar Pahlawan Nasional RI.
Film berbudget 12 milyar ini memang mahal, karena bukan cuma menghidupkan kembali sejarah, tapi juga film seni yang menghadirkan keindahan kostum dan setting, dan sekaligus merupakan film drama yang syarat pesan. Garin Nugroho meramu semua unsur dengan apik. Cerita mengalir dengan mulus sehingga drama film ini sangat terasa. Pilihan pemain yang tepat dengan karakter masing-masing memang tidak bisa dipungkiri mampu membawa penonton hanyut. Lagu-lagu keroncong klasik menambah keindahan film ini.
Secara garis besar, film ini dibuat dengan format film perjuangan yang mengambil cerita dari catatan harian Mgr. Albertus SoegijapranataSJ, dari sejak ditahbiskan hingga berakhirnya perang kemerdekaan Indonesia (1940 – 1949). Satu dasawarsa penuh gejolak ini ditandai dengan akhir penjajahan Belanda, dimulainya masa pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan RI, dan kembalinya Belanda yang ingin merenggut kembali Indonesia, sehingga mulailah perang kemerdekaan Indonesia. dan pendirian Republik Indonesia Serikat pada periode tahun 19471949. Dengan mengambil latar daerah Yogyakarta dan Semarang, peristiwa-peristiwa tersebut, dan juga peran sertanya dalam meringankan beban penderitaan rakyat di tengah kekacauan perang, dituangkan Soegija dalam renungan-renungan catatan hariannya. Perannya merambah di semua tingkat, baik politik lokal, nasional maupun internasional. Film ini banyak menampilkan tokoh-tokoh nyata tapi difiksikan. Mereka berasal dari Indonesia, Jepang, Belanda, baik sipil maupun militer, dalam peristiwa-peristiwa keseharian yang direkonstruksi dengan cukup detil, termasuk dominasi pemakaian bahasa Belanda, Jepang dan Jawa.


Review Film

Film ini dimulai dengan goresan pena seorang Romo di atas kertas, yang sekaligus menjadi curahan hatinya “Kemanusiaan itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya, semua merupakan satu keluarga besar.” Di masa serba tertekan itu, sang Romo dilantik sebagai Uskup melalui surat yang ditandatangani oleh Mgr. Montini, yang kelak menjadi Paus Paulus VI. Dengan ‘jabatan’ itu, Romo lebih dihormati. Yang datang ke gereja mendengarkan ceramahnya bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Belanda. Meski begitu, kesehariannya yang bersahaja dan merakyat, tak berubah.
Film yang dibuat melalui riset panjang ini bukan film misionaris agama Katolik seperti yang banyak diperdebatkan. Tokohnya juga tidak melulu Soegija. Film ini menampilkan sisi humanis yang masih ada dalam sebuah perang dan sangat kuat mengangkat aspek kemanusiaan yang universal ketimbang menekankan aspek agama. Bagi Soegija, kemanusiaan itu adalah satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya. Dalam perang yang paling dikorbankan adalah kemanusiaan. Penjajah maupun terjajah semua kehilangan kemanusiaan dalam dirinya. Dan perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar manusia.
Dikisahkan ketika Jepang datang ke Indonesia di tahun 1942, Mariyem yang terpisah dari kakaknya Maryono akibat perang, kemudian kembali dipertemukan dalam kondisi berbeda. Ling Ling, seorang bocah Tionghoa, juga terpisah dari mamanya, lalu bertemu kembali dalam sebuah momen di gereja. Adanya keterpisahan antara insan manusia itu tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjajah, tetapi juga oleh para penjajah. Rasa kemanusiaan juga dimiliki para penjajah. Nobuzuki, pemimpin tentara Jepang, tak pernah tega pada anak-anak karena ingat anaknya di Jepang. Robert, seorang tentara Belanda yang mengaku dirinya adalah mesin perang yang hebat, tak kuasa ingin segera pulang ke Belanda karena sang ibunda merindukannya. Tokoh yang mengundang tawa juga ditampilkan, seorang bocah yang hanya bisa mengeja kata ‘merdeka’ tapi punya semangat juang dan selalu menjadi garda terdepan pasukan pemuda
Film SOEGIJA ini ingin menyatukan kembali kisah-kisah cinta keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan kematian. Dengan posisinya sebagai uskup, Soegija melakukan diplomasi diam-diam. Saat Hiroshima–Nagasaki di-bom dan masyarakat menuntut kemerdekaan yang belum juga diakui oleh sekutu, Soegija mengirim surat ke Vatikan dan kemudian Vatikan menjadi negara Barat pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. 
Kisah film ini menyoroti bagaimana agama menyentuh kemanusiaan setiap orang, penjajah maupun terjajah. Dalam film ini Soegija memang tidak terjun langsung untuk berperang, namun di setiap masa, andilnya selalu tampak. Saat penduduk butuh tempat bernaung karena kondisi jalanan chaos, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung mereka. Ia memerintahkan penyaluran makanan lebih dulu untuk rakyat yang kelaparan, baru untuk para imam.
Selain menampilkan kemanusiaan yang beragam, film ini juga banyak menampilkan otokritik untuk bangsa. Baik berupa visual, maupun kata-kata satir dari goresan pena dan ucapan Soegija sendiri. Kata-kata seperti “Apakah yang harus dilakukan seorang pemimpin di tengah krisis dan perubahan zaman?” serta “Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri? mengandung makna yang patut dicermati lebih dalam.
“Perjuangan sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara,” pesan Soegija di akhir film itu, seakan menjadi permenungan bagi para pemimpin sekaligus rakyat Indonesia di masa sekarang.



NAMA KELOMPOK        :

  1. ANNISA SELANDIA
  2. CLAUDIA GALUH KUMALASARI
  3. MEGAWATI OKTAVIANI
 

0 komentar:

Posting Komentar